PENGERTIAN IJMA
Ijma’
dalam pengertian bahasa memiliki dua arti. Pertama, berupaya (tekad) terhadap
sesuatu. Sebagaimana firman Allah SWT:
“Karena itu bulatkanlah keputusanmu
dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu”. (Qs.10:71)
Pengertian kedua, berarti kesepakatan.
Pengertian kedua, berarti kesepakatan.
Sebagaimana firman Allah SWT:
“Maka tatkala mereka membawanya dan
sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka memasukkan dia), dan (di
waktu dia sudah ada di dalam sumur) Kami wahyukan kepada Yusuf, “sesungguhnya
kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini, sedang mereka tiada
ingat lagi.” (QS. Yusuf:15)
Adapun
perbedaan kedua arti diatas adalah: yang pertama bisa dilakukan oleh satu orang
atau banyak, sedangkan arti yang kedua hanya bisa dilakukan oleh dua orang atau
lebih, karena tidak mungkin seseorang bersepakat dengan dirinya.
Menurut
istilah ijma', ialah kesepakatan mujtahid ummat Islam tentang hukum syara' dari
peristiwa yang terjadi setelah Rasulullah SAW meninggal dunia. Sebagai contoh
ialah setelah Rasulullah SAW meninggal dunia diperlukan pengangkatan seorang
pengganti beliau yang dinamakan khalifah. Maka kaum muslimin yang ada pada
waktu itu sepakat untuk mengangkat seorang khalifah dan atas kesepakatan bersama
pula diangkatlah Abu Bakar RA sebagai khalifah pertama. Sekalipun pada
permulaannya ada yang kurang menyetujui pengangkatan Abu Bakar RA itu, namun
kemudian semua kaum muslimin menyetujuinya. Kesepakatan yang seperti ini dapat
dikatakan ijma'.
Ijma’ dalam
istilah ahli ushul adalah kesepakatan semua para mujtahid dari kaum muslimin
dalam suatu masa setelah wafat Rasul Saw atas hukum syara.
DASAR HUKUM IJMA’
Dasar hukum ijma' berupa aI-Qur'an,
al-Hadits dan akal pikiran.
1)
Al-Qur'an
Allah SWT berfirman:
Artinya: "Hai orang-orang
yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri diantara
kamu." (an-Nisâ': 59)
Perkataan amri
yang terdapat pada ayat di atas berarti hal, keadaan atau urusan yang
bersifat umum meliputi urusan dunia dan urusan agama. Ulil amri dalam urusan
dunia ialah raja, kepala negara, pemimpin atau penguasa, sedang ulil amri dalam
urusan agama ialah para mujtahid.
Dari ayat
di atas dipahami bahwa jika para ulil amri itu telah sepakat tentang sesuatu
ketentuan atau hukum dari suatu peristiwa, maka kesepakatan itu hendaklah
dilaksanakan dan dipatuhi oleh kaum muslimin.
Firman AIlah SWT:
Artinya: "Dan berpeganglah
kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu
bercerai-berai." (Ali Imran: 103)
Ayat ini
memerintahkan kaum muslimin bersatu padu, jangan sekali-kali bercerai-berai.
Termasuk dalam pengertian bersatu itu ialah berijma' (bersepakat) dan dilarang
bercerai-berai, yaitu dengan menyalahi ketentuan-ketentuan yang telah
disepakati oleh para mujtahid.
Firman Allah SWT:
Artinya: "Dan barangsiapa
yang menantang Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang
bukan jalan orang-orang yang beriman, Kami biarkan ia berkuasa terhadap
kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukan ia ke dalam jahannam dan
jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali." (an-Nisâ': 115)
Pada ayat
di atas terdapat perkataan sabîlil mu'minîna yang berarti jalan
orang-orang yang beriman. Jalan yang disepakati orang-orang beriman dapat
diartikan dengan ijma', sehingga maksud ayat ialah: "barangsiapa yang
tidak mengikuti ijma' para mujtahidin, mereka akan sesat dan dimasukkan ke
dalam neraka."
2)
AI-Hadits
Bila para
mujtahid telah melakukan ijma' tentang hukum syara' dari suatu peristiwa atau
kejadian, maka ijma' itu hendaklah diikuti, karena mereka tidak mungkin
melakukan kesepakatan untuk melakukan kesalahan apalagi kemaksiatan dan dusta,
sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
Artinya: "umatku tidak akan
bersepakat untuk melakukan kesalahan." (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)
3)
Akal
pikiran
Setiap
ijma' yang dilakukan atas hukum syara', hendaklah dilakukan dan dibina atas
asas-asas pokok ajaran Islam. Karena itu setiap mujtahid dalam berijtihad
hendaklah mengetahui dasar-dasar pokok ajaran Islam, batas-batas yang telah
ditetapkan dalam berijtihad serta hukum-hukum yang telah ditetapkan. Bila ia
berijtihad dan dalam berijtihad itu ia menggunakan nash, maka ijtihadnya tidak
boleh melampaui batas maksimum dari yang mungkin dipahami dari nash itu.
Sebaliknya jika dalam berijtihad, ia tidak menemukan satu nashpun yang dapat
dijadikan dasar ijtihadnya, maka dalam berijtihad ia tidak boleh melampaui
kaidah-kaidah umum agama Islam, karena itu ia boleh menggunakan dalil-dalil
yang bukan nash, seperti qiyas, istihsan dan sebagainya. Jika semua mujtahid
telah melakukan seperti yang demikian itu, maka hasil ijtihad yang telah
dilakukannya tidak akan jauh menyimpang atau menyalahi al-Qur'an dan al-Hadits,
karena semuanya dilakukan berdasar petunjuk kedua dalil ltu. Jika seorang
mujtahid boleh melakukan seperti ketentuan di atas, kemudian pendapatnya boleh
diamalkan, tentulah hasil pendapat mujtahid yang banyak yang sama tentang hukum
suatu peristiwa lebih utama diamalkan.
RUKUN IJMA’
Adapun
rukun ijma’ dalam definisi di atas adalah adanya kesepakatan para mujtahid kaum
muslimin dalam suatu masa atas hukum syara’ .
Kesepakatan itu dapat dikelompokan
menjadi empat hal:
1. Tidak cukup ijma’ dikeluarkan oleh
seorang mujtahid apabila keberadaanya hanya seorang (mujtahid) saja di suatu
masa. Karena ‘kesepakatan’ dilakukan lebih dari satu orang, pendapatnya
disepakati antara satu dengan yang lain.
2. Adanya kesepakatan sesama para
mujtahid atas hukum syara’ dalam suatu masalah, dengan melihat negeri, jenis
dan kelompok mereka. Andai yang disepakati atas hukum syara’ hanya para
mujtahid haramain, para mujtahid Irak saja, Hijaz saja, mujtahid ahlu Sunnah,
Mujtahid ahli Syiah, maka secara syara’ kesepakatan khusus ini tidak disebut
Ijma’. Karena ijma’ tidak terbentuk kecuali dengan kesepakatan umum dari
seluruh mujtahid di dunia Islam dalam suatu masa.
3. Hendaknya kesepakatan mereka dimulai
setiap pendapat salah seorang mereka dengan pendapat yang jelas apakah dengan
dalam bentuk perkataan, fatwa atau perbuatan.
4. Kesepakatan itu terwujudkan atas
hukum kepada semua para mujtahid. Jika sebagian besar mereka sepakat maka tidak
membatalkan kespekatan yang ‘banyak’ secara ijma’ sekalipun jumlah yang berbeda
sedikit dan jumlah yang sepakat lebih banyak maka tidak menjadikan kesepakatan
yang banyak itu hujjah syar’i yang pasti dan mengikat.
Syarat Mujtahid
Mujtahid hendaknya
sekurang-kurangnya memiliki tiga syarat:Syarat pertama, memiliki pengetahuan
sebagai berikut:
1. Memiliki pengetahuan tentang Al
Qur’an
2. Memiliki pengetahuan tentang Sunnah
3. Memiliki pengetahuan tentang masalah
Ijma’ sebelumnya
4. Memiliki pengetahuan tentang ushul
fikih
5. Menguasai ilmu bahasa
Selain itu, al-Syatibi menambahkan
syarat selain yang disebut di atas, yaitu memiliki pengetahuan tentang maqasid
al-Syariah (tujuan syariat). Oleh karena itu seorang mujtahid dituntut untuk
memahami maqasid al-Syariah. Menurut Syatibi, seseorang tidak dapat mencapai
tingkatan mujtahid kecuali menguasai dua hal:
1. Harus mampu memahami maqasid
al-syariah secara sempurna
2. Harus memiliki kemampuan menarik
kandungan hukum berdasarkan pengetahuan dan pemahamannya atas maqasid
al-Syariah
KEHUJJAHAN
IJMA’
Apabila rukun ijma’ yang empat hal
di atas telah terpenuhi dengan menghitung seluruh permasalahan hukum pasca
kematian Nabi Saw dari seluruh mujtahid kaum muslimin walau dengan perbedaan
negeri, jenis dan kelompok mereka yang diketahui hukumnya. Perihal ini, nampak
setiap mujtahid mengemukakan pendapat hukumnya dengan jelas baik dengan
perkataan maupun perbuatan baik secara kolompok maupun individu.
Selanjutnya mereka mensepakati
masalah hukum tersebut, kemudian hukum itu disepakati menjadi aturan syar’i
yang wajib diikuti dan tidak mungkin menghindarinya. Lebih lanjut, para mujtahid
tidak boleh menjadikan hukum masalah ini (yang sudah disepakati) garapan
ijtihad, karena hukumnya sudah ditetapkan secara ijma’ dengan hukum syar’i yang
qath’i dan tidak dapat dihapus (dinasakh).
KEMUNGKINAN TERJADINYA IJMA’
Jika
diperhatikan sejarah kaum muslimin sejak zaman Rasulullah SAW sampai sekarang,
dihubungkan dengan kemungkinan terjadinya ijma', maka ijma' dapat dibagi atas
tiga periode, yaitu:
1. Periode Rasulullah
SAW;
2. Periode Khalifah Abu
Bakar Shiddiq dan Khalifah Umar bin Khattab; dan
3. Periode sesudahnya.
Pada masa
Rasulullah SAW, beliau merupakan sumber hukum. Setiap ada peristiwa atau
kejadian, kaum muslimin mencari hukumnya pada al-Qur'an yang telah diturunkan
dan hadits yang telah disabdakan oleh Rasulullah SAW. Jika mereka tidak
menemukannya dalam kedua sumber itu, mereka langsung menanyakannya kepada
Rasulullah. Rasululah adakalanya langsung menjawabnya, adakalanya menunggu ayat
al-Qur'an turunkan Allah SWT. Karena itu kaum muslimin masih satu, belum nampak
perbedaan pendapat yang menetapkan hukum suatu peristiwa atau kejadian yang
mereka alami.
Setelah
Rasulullah SAW meninggal dunia, kaum muslimin kehilangan tempat bertanya, namun
mereka telah mempunyai pegangan yang lengkap, yaitu al-Qur'an dan al-Hadits.
Jika ada kejadian atau peristiwa yang memerlukan penetapan hukum, mereka
berijtihad, tetapi belum ada bukti yang nyata bahwa mereka telah berijma'.
Seandainya ada ijma' itu, kemungkinan terjadi pada masa khalifah Abu Bakar,
Khalifah Umar atau sedikit kemungkinan pada masa enam tahun pertama Khalifah
Utsman. Hal ini adalah karena pada masa itu kaum muslimin masih satu, belum ada
perbedaan pendapat yang tajam diantara kaum muslimin, disamping daerah Islam
belum begitu luas, masih mungkin mengumpulkan para sahabat atau orang yang
dipandang sebagai mujtahid.
Setelah
enam tahun bahagian kedua kekhalifahan Utsman, mulailah nampak gejala-gejala
perpecahan di kalangan kaum muslimin. Hal ini dimulai dengan tindakan Utsman
mengangkat anggota keluarganya sebagai penjabat jabatan-jabatan penting dalam
pemerintahan (nepotisme). Setelah Khalifah Utsman terbunuh, perpecahan di
kalangan kaum muslimin semakin terjadi, seperti peperangan antara Ali bin Abi
Thalib dengan Mu'awiyah bin Abu Sofyan, peperangan antara Ali bin Abi Thalib
dengan Aisyah yang terkenal dengan perang Jamal, timbul golongan Khawarij,
golongan Syi'ah golongan Mu'awiyah dan sebagainya. Demikianlah perselisihan dan
perpecahan itu terjadi pula semasa dinasti Amawiyah, semasa dinasti Abbasiyah, semasa
dinasti Fathimiyah dan sebagainya, sehingga dana dan tenaga umat Islam terkuras
dan habis karenanya.
Disamping
itu daerah Islam semakin luas, sejak dari Asia Tengah (Rusia Selatan sekarang)
sampai kebagian tengah benua Afrika, sejak ujung Afrika Barat sampai Indonesia,
Tiongkok Selatan, Semenanjung Balkan dan Asia Kecil. Karena itu amat sukar
melakukan ijma' dalam keadaan dan luas daerah yang demikian.
Dari keterangan di atas dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut:
1.
Ijma'
tidak diperlukan pada masa Nabi Muhammad SAW;
2. Ijma' mungkin terjadi pada masa
Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar bin Khattab, dan enam tahun pertama Khalifah
Utsman; dan c. Setelah masa enam tahun kedua pemerintahan Khalifah Utsman
sampai saat ini tidak mungkin terjadi ijma' sesuai dengan rukun-rukun yang
telah ditetapkan di atas, mengingat keadaan kaum muslim yang tidak bersatu
serta luasnya daerah yang berpenduduk Islam.
Pada masa
sekarang telah banyak berdiri negara-negara Islam yang berdaulat atau suatu
negara yang bukan negara Islam tetapi penduduknya mayoritas beragama Islam atau
minoritas penduduknya beragama Islam. Pada negara-negara tersebut sekalipun
penduduknya minoritas beragama Islam, tetapi ada peraturan atau undang-undang
yang khusus bagi umat Islam. Misalnya India, mayoritas penduduknya beragama
Hindu, hanya sebagian kecil yang beragama Islam. Tetapi diberlakukan
undang-undang perkawinan khusus bagi umat Islam. Undang-undang itu ditetapkan
oleh pemerintah dan parlemen India setelah musyawarah dengan para mujtahid kaum
muslimin yang ada di India. Jika persepakatan para mujtahid India itu dapat
dikatakan sebagai ijma', maka ada kemungkinan terjadinya ijma' pada masa
setelah Khalifah Utsman sampai sekarang sekalipun ijma' itu hanya dapat
dikatakan sebagai ijma' lokal.
Jika
demikian dapat ditetapkan definisi ijma', yaitu keputusan hukum yang diambil
oleh wakil-wakil umat Islam atau para mujtahid yang mewakili segala lapisan
masyarakat umat Islam. Karena dapat dikatakan sebagai ulil amri
sebagaimana yang tersebut pada ayat 59 surat an-Nisâ' atau sebagai ahlul
halli wal 'aqdi. Mereka diberi hak oleh agama Islam untuk membuat
undang-undang atau peraturan-peraturan yang mengatur kepentingan-kepentingan
rakyat mereka.
Hal yang
demikian dibolehkan dalam agam Islam. Jika agama Islam membolehkan seorang yang
memenuhi syarat-syarat mujtahid untuk berijtihad, tentu saja beberapa orang
mujtahid dalam suatu negara boleh pula bersama-sama memecahkan permasalahan
kaum muslimin kemudian menetapkan suatu hukum atau peraturan. Pendapat sebagai
hasil usaha yang dilakukan orang banyak tentu lebih tinggi nilainya dari
pendapat yang dilakukan oleh orang seorang.
MACAM – MACAM IJMA’
Sekalipun
sukar membuktikan apakah ijma' benar-benar terjadi, namun dalam kitab-kitab
fiqh dan ushul fiqh diterangkan macam-macam ijma'. Diterangkan bahwa ijma' itu
dapat ditinjau dari beberapa segi dan tiap-tiap segi terdiri atas beberapa
macam.
Ditinjau dari segi cara terjadinya,
maka ijma' terdiri atas:
1)
ljma' bayani, yaitu para mujtahid menyatakan
pendapatnya dengan jelas dan tegas, baik berupa ucapan atau tulisan. Ijma'
bayani disebut juga ijma' shahih, ijma' qauli atau ijma' haqiqi;
2) Ijma' sukuti, yaitu para mujtahid seluruh atau
sebahagian mereka tidak menyatakan pendapat dengan jelas dan tegas, tetapi
mereka berdiam diri saja atau tidak memberikan reaksi terhadap suatu ketentuan
hukum yang telah dikemukakan mujtahid lain yang hidup di masanya. Ijma' seperti
ini disebut juga ijma' 'itibari.
Ditinjau dari segi yakin atau
tidaknya terjadi suatu ijma', dapat dibagi kepada:
1)
ljma'
qath'i,
yaitu hukum yang dihasilkan ijma' itu adalah qath'i diyakini benar terjadinya,
tidak ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah
ditetapkan berbeda dengan hasil ijma' yang dilakukan pada waktu yang lain;
2) ljma' dhanni, yaitu hukum yang dihasilkan ijma'
itu dhanni, masih ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian
yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad orang lain atau dengan hasil
ijma' yang dilakukan pada waktu yang lain.
Dalam kitab-kitab fiqh terdapat pula
beberapa macam ijma' yang dihubungkan dengan masa terjadi, tempat terjadi atau
orang yang melaksanakannya. Ijma'-ijma' itu ialah:
1)
Ijma'
sahabat,
yaitu ijma' yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW;
2) Ijma' khulafaurrasyidin, yaitu ijma' yang dilakukan oleh
Khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali bin Abi Thalib. Tentu saja hal ini
hanya dapat dilakukan pada masa ke-empat orang itu hidup, yaitu pada masa
Khalifah Abu Bakar. Setelah Abu Bakar meninggal dunia ijma' tersebut tidak
dapat dilakukan lagi;
3) Ijma' shaikhan, yaitu ijma' yang dilakukan oleh
Abu Bakar dan Umar bin Khattab;
4) Ijma' ahli Madinah, yaitu ijma' yang dilakukan oleh
ulama-ulama Madinah. Ijma' ahli Madinah merupakan salah satu sumber hukum Islam
menurut Madzhab Maliki, tetapi Madzhab Syafi'i tidak mengakuinya sebagai salah
satu sumber hukum Islam;
5) Ijma' ulama Kufah, yaitu ijma' yang dilakukan oleh
ulama-ulama Kufah. Madzhab Hanafi menjadikan ijma' ulama Kufah sebagai salah
satu sumber hukum Islam.
OBJEK IJMA’
Obyek ijma' ialah semua peristiwa
atau kejadian yang tidak ada dasarnya dalarn al-Qur'an dan al-Hadits, peristiwa
atau kejadian yang berhubungan dengan ibadat ghairu mahdhah (ibadat yanng tidak
langsung ditujukan kepada Allah SWT) bidang mu'amalat, bidang kemasyarakatan
atau semua hal-hal yang berhubungan dengan urusan duniawi tetapi tidak ada
dasarnya dalam al-Qur'an dan al-Hadits.
FAIDAH IJMA' DALAM
PENETAPAN HUKUM
Para ulama yang menyatakan Ijma' bisa menjadi hujjah, dan mereka berbeda pendapat apakah Ijma' memberi faidah qath’i atau zhanni? Perbedaan pendapat dalam menyikapi masalah ini, terbagi menjadi tiga kelompok .
Pertama : Menurut pendapat as-Asfahani, dan inilah pendapat yang masyhur dari kebanyakan para ulama bahwa Ijma' menjadi hujjah qath’i dalam agama Islam.
Kedua. : Ijma' tidak berfaidah kecuali ketetapan yang bersifat zhanni, baik Ijma' itu bersandar pada dalil yang qath’i maupun dalil zhanni.
Ketiga : Harus dibedakan antara Ijma' yang disepakati sehingga menjadi hujjah yang qath’i, dengan Ijma' yang masih diperselisihkan, seperti Ijma' sukuti. Ijma' seperti ini hanya memberi faidah dan ketetapan hukum secara zhanni. Dan inilah yang shahîh seperti dikuatkan Ibnu Taimiyya rahimahullahh.
Para ulama yang menyatakan Ijma' bisa menjadi hujjah, dan mereka berbeda pendapat apakah Ijma' memberi faidah qath’i atau zhanni? Perbedaan pendapat dalam menyikapi masalah ini, terbagi menjadi tiga kelompok .
Pertama : Menurut pendapat as-Asfahani, dan inilah pendapat yang masyhur dari kebanyakan para ulama bahwa Ijma' menjadi hujjah qath’i dalam agama Islam.
Kedua. : Ijma' tidak berfaidah kecuali ketetapan yang bersifat zhanni, baik Ijma' itu bersandar pada dalil yang qath’i maupun dalil zhanni.
Ketiga : Harus dibedakan antara Ijma' yang disepakati sehingga menjadi hujjah yang qath’i, dengan Ijma' yang masih diperselisihkan, seperti Ijma' sukuti. Ijma' seperti ini hanya memberi faidah dan ketetapan hukum secara zhanni. Dan inilah yang shahîh seperti dikuatkan Ibnu Taimiyya rahimahullahh.
REFERENSI
Buku
Terjemahan Kitab ILMU USHUL FIQH Karya : Prof Abdul Wahhab Khallaf
BUKU
Ushul Fiqh karya Abdullah Bin Abdurrahman Al bassam
Referensi
Tambahan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar